Recent Comments

Sabtu, 30 Juni 2012

RISALAHKU (BAB 1)

0

BAB 1
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab Allah Swt yang diturunkan –baik lafal maupun maknanya- kepada nabi Muhammad Saw yang dinukil secara mutawatir serta memberikan keyakinan (kepada para pembacanya), yang terjaga di dalam Mashâhif (lembaran-lembaran), diawali dari surat Al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat An-Nâs (Abu Syuhbah 1987: 6). Al-Qur’an merupakan dalil kenabian nabi Muhammad Saw (Abu Ar-Rasytah 2006: 7) sekaligus sebagai risalah kenabian yang harus Beliau laksanakan (Al-Qaradlâwi 2000: 19). Al-Qur’an merupakan kemukjizatan Islam (Al-Qattân 2009: 13) dan menjadi pegangan bagi manusia agar mereka terbimbing dengan petunjuk-Nya ke jalan yang lurus (Baidan 2011: 16).
Selain itu, Al-Qur’an merupakan perkataan (firman) yang tersusun dengan sangat rapi dari permulaan hingga akhir. Ia bagaikan berlian yang tersusun di sebuah kalung. Jika susunan tersebut dirubah (dirusak) maka hal itu akan merusak keindahan (balâghah) Al-Qur’an (Ahmad Farhât 2006: 146)
Sebagai petunjuk dari Allah Swt, kebenaran Al-Qur’an –secara mutlak- diakui oleh umat Islam (Supiana 2002: 9, Abu Syuhbah 1987: 15). Sebagai pembuktian, Al-Qur’an sendiri menantang setiap umat manusia untuk membuat yang satu buku, Sepuluh surat, satu surat yang semisal dengan Al-Qur’an (Abu Syuhbah 1987: 6-7). Sampai saat ini –dan masa yang akan datang- tantangan Al-Qur’an ini tidak akan pernah bisa disanggupi oleh siapapun. (Al-Isra’: 88).
Berdasarkan keterangan di atas, umat –atau sebagian- Islam dituntut untuk memahami Al-Qur’an agar dapat menjadi petunjuk ke jalan yang lurus (Q.S Al-Isra 17:9) dan sebagai pemecahan terhadap problem-promlem umat  (Al-Qattân 2009: 10).
Sebagai upaya untuk memahami Al-Qur’an, diperlukan seperangkat metode yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan instruksional dari suatu penafsiran (Baidan 2005: 10). Selain itu, seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an harus memahami ushûl at-tafsîr yang berfungsi sebagai panduan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sebab tanpa mematuhi panduan tersebut tidak mustahil seseorang akan keliru dalam melakukan penafsirkan (Baidan 2005: 2, Ibnu Taimiyyah 1972: 105).
Kesadaran akan pentingnya metode dan metodoligi tafsir berangkat dari keyakinan bahwa Al-Qur’an merupakan Kalam Allah (Ash-Shâbuniy 2003: 8), bacaan sempurna (Syihab 2007: 3) yang keotentikannya dijamin oleh Allah Swt (Syihab 2007 : 27, Qaradlâwi 2000: 9). Oleh karena itu, baik metode maupun metodologi penafsiran harus dikuasai oleh orang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an agar penafsiran yang dihasilkan tidak menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh yang menurunkan pesan (Baidan 2011: 5). Selain itu, nabi Muhammad Saw ditugaskan hanya untuk menjelaskan ayat-ayat yang diperselisihkan maknanya oleh sahabat (Baidan 2011: 79). Allah pun memberikan “sinyal” bahwa penafsiran yang beliau berikan berdasarkan perintah Allah Swt (lihat Q.S. 69: 44, Q.S. 46: 9, Q.S. 10:15, Q.S. 5: 99).
Diskursus tentang tafsir –beserta perangkat metodoligisnya- sudah dimulai sejak adanya upaya untuk memahami Al-Qur’an. Hal ini disebabkan tidak mungkin seseorang menafsirkan Al-Qur’an tanpa menguasai ilmunya terlebih dahulu kecuali penafsiran yang langsung dari Allah atau yang disampaikan oleh Rasulallah Saw (Baidan 2011: 1). Hanya saja, pada masa tiga generasi Islam pertama (sahabat, tabi’in, dan atbâ’ at-tâbi’în) ilmu ini belum dibukukan sebab Mereka telah menguasai ilmu itu secara baik sehingga tidak membutuhkan pembahasan ilmiyah tentang itu apalagi membukukannya. Tapi setelah tiga generasi pertama itu tidak ada lagi, umat (ulama) Islam telah berkembang dan tersebar pada hampir sepertiga dunia. Dengan demikian, mereka membutuhkan pembahasan yang rinci dan sistematis tentang ilmu ini (Al-Munawar 94: 28-30).
Pada masa berikutnya, tafsir –beserta perangkat metodologinya- terus berkembang. Beberapa ulama, seperti Az-Zarksyiy, Ibnu Taimiyyah (661-728 H) menyusun buku tentang ‘ulûm at-tafsîr dan ushûl at-tafsîr. Bahkan, pada masa sekarang ini, Syaikh Yûsuf Qaradlâwi menawarkan “wawasan baru” dalam memahami Al-Qur’an dalam bukunya yang berjudul kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘adzîm.
Pada masa sekarang –seiring dengan perkembangan zaman- muncul berbagai tafsir dan produk pemikiran metodologi tafsir yang mengundang “kontroversi” di kalangan para ulama. Salah satu hal yang dianggap kontroversial adalah pandangan Quraisy Syihab tentang Jilbab/hijab.
Seluruh ulama mengakui bahwa jilbab/hijab merupakan kewajiban bagi kaum muslimah. Perselisihan yang masih ada hingga saat ini hanya berkisar pada hukum mengenakan cadar (niqâb) (Ash-Shâbuniy 2007: 111, Az-Zuhailiy 1991: 107). Namun, dalam hal ini, Quraisy Syihab menganggap bahwa masalah ini –kewajiban muslimah untuk berjilbab- merupakan masalah khilâfiyyah (lihat buku Wawasan Al-Qur’an dan Jilbab Pakaian Wanita Muslimah karya Quraisy Syihab) sehingga beliau lebih memilih untuk tawaqquf (tidak mengambil/mengungkapkan pendapat) dalam masalah ini (Syihab 2010: XIV [dalam Sekapur Sirih]).
Quraisy Syihab mengatakan bahwa wanita yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak)tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka "secara pasti telah melanggar petunjuk agama". Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat (Shihab 1996:178). Meskipun Quraisy Syihab tidak mengatakan jilbab tidak wajib, namun uraian ini sudah mewakili pendapatnya. Terlebih lagi beberapa diskusi dan seminar yang dihadiri olehnya, sebagai pemateri, turut menegaskan pendapatnya itu. Misalnya dalam bedah buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer (Buku yang ditulis oleh Quraisy Syihab sendiri) yang diadakan mahasiswa Indonesia di Mesir melalui FORDIAN (Forum Studi al Qur’an) pada 28 Maret 2006 di Kairo (Zain an-Najah :1). Padahal jilbab diwajbkan bagi semua wanita mukmin yang mukallaf (Ash-Shabuniy 2008: 275). Hal ini tentunya akan menyita perhatian umat islam, mengingat Quraiys Syihab dianggap sebagai orang yang memiliki otoritas tinggi dan tidak pernah salah dalam persoalan agama (Zain an-Najah: 2).
B.       Rumusan Masalah
         Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.    Bagaimana cara Quraisy Syihab menafsirkan “ayat-ayat jilbab” (metode penafsiran) dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah ?.
2.    Bagaimana Quraisy Syihab membangun penafsiran tersebut (metodologi penafsiran) ?.
3.    Bagaimana tinjauan Ushûl at-Tafsîr tentang penafsiran tersebut ?
C.       Kegunaan Penelitian
         Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan, diantaranya:
1.     Untuk mengetahui penafsiran Quraisy Syihab terhadap “ayat-ayat jilbab”
2.     Untuk meninjau relevansi penafsiran Quraisy Syihab dengan teori ushûl at-tafsîr
D.       Tinjauan Pustaka
Sepanjang penelusuran penulis mendapatkan beberapa karya, baik berbentuk skripsi, artikel, makalah ataupun tulisan lainnya yang membahas tentang jilbab, baik secara umum maupun yang secara langsung membahas tulisan dan pandangan Quraisy Syihab. Tulisan tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Skripsi yang ditulis oleh M. Fahru Zaini, S.Thi, salah satu alumni IAIN (UIN) Antasari. Di dalamnya ia memaparkan berbagai kritikan para ahli yang ditujukan kepada Quraisy Syihab. Diantara kritikan tersebut terdapat sejumlah nama, diantaranya adalah Dr. Eli Maliki, Dr. Mukhlis Hanafi, Dr. Adian Husaini, dan Aep Saepullah Darusmanwiati, S.Ag. Penekanan dalam karya ini adalah membandingkan antara pandangan Quraisy Syihab dengan cendikiawan di atas. Dalam kesimpulannya, beliau membuat beberapa catatan terhadap penafsiran Quraisy Syihab tersebut. Salah satu catatan itu adalah konsep lokalitas hukum Islam.
2.        Dalam bentuk Majalah yaitu kajian yang dilakukan oleh Adian Husaini yang pada saat bedah buku M.Quraish Shihab terlibat langsung dalam diskusi yaitu tulisan beliau terdapat di dalam Majalah Suara Hidayatullah Edisi ke 7 XXIV (November, 2006). Dalam tulisan ini, beliau hanya sedikit mengutarakan beberapa pandangan M. Quraish Shihab yang dianggap ganjil oleh ulama-ulama terdahulu yang mempunyai ototritas dalam bidang fiqih maupun tafsir.
3.        Kajian yang dilakukan dalam bentuk Skripsi terutama dalam mengkaji penafsiran M. Quraish Shihab banyak dilakukan oleh Mahasiswa/I Fakultas Ushuluddin lebih khususnya Jurusan Tafsir Hadis yaitu Kajian yang dilakukan Rafi’ah Hidayati yang Skripsinya berjudul Jilbab dalam Alquran (Studi Analisis Penafsiran Surah al Ahzâb ayat 59) yang di terbitkan IAIN Antasari tahun 2005. Kajian yang dilakukannya hanya berupa penafsiran secara Tahlili dan di dalam skripsi itu pun hanya sedikit menyinggung penafsiran M. Quraish Shihab yang dikemukakanya tentang jilbab.
4.        Artikel yang ditulis oleh Fahrur Mu’is dalam blog yang bertajuk Fahrurmuis’s Webblog Fahrur Mu’is Penulis Indonesia dengan judul Kritik Atas Penafsiran Quraisy Syihab Tentang Jilbab. Di dalamnya ia memaparkan penafsiran Quraisy Syihab tentang jilbab kemudian memerikan kritikan terhadap penafsiran tersebut. Menurutnya penafsiran ayat jilbab yang dipaparkan oleh Quraisy Syihab tidak sesuai dengan pemahaman para ulama yang otoritatif. Bahkan ia menganggap penafsiran tersebut nyeleneh dan bisa merontokkan sendi-sendi bangunan Islam. Untuk mendukung argumennya, ia membentangkan pendapat sejumlah ulama yang dipandang otoritatif dalam bidang tafsir untuk membantah pendapat Quraisy Syihab. Namun ia tidak memaparkan metodologi yang dipakai oleh Quraisy Syihab dalam menafsirkan al Qur’an, terutama ayat tentang hijab/jilbab yang menyebabkan Quraisy Syihab mempunyai kesimpulan ‘jilbab tidak wajib’.
5.    Makalah yang ditulis oleh Dr. Ahmad Zain An Najah, M.A dengan judul Jilbab: Kewajiban Wanita Muslimah (pdf) sebagai kritik terhadap buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (buku yang ditulis oleh Quraisy Syihab). Di dalam makalah tersebut beliau memberikan catatan kritis terhadap tulisan Quraisy Syihab, terutama ditinjau dari pembahasan fikih. Di dalamnya juga beliau mengoreksi kesalahan-kesalahan Quraisy Syihab dalam menukil pendapat tanpa melakukan pentarjihan. Selain itu ketidak adilan penukilan dan menafsirkan ayat yang bukan pada tempatnya turut menjadi sorotan beliau. Namun, beliau lebih terfokus untuk mengkritik buku yang ditulis oleh Quraiys Syihab, terutama dari segi penukilan dan pengambilan pendapat. Sehingga segi metodologi, terutama ushûl at-tafsîr, kurang menjadi perhatian.
6.    Skripsi yang ditulis oleh Supriyati, mahasisiwi IAIN Walisongo Semarang, dengan judul Jilbab Menurut Quraisy Syihab dan ImplikasinyaTerhadap Bimbingan Muslimah Dalam Berbusana. Pembahasan di dalamnya lebih banyak mengambil porsi etika berpakaian yang islami, bukan menentukan batas aurat karena penulis skripsi tersebut memang menitikberatkan pada aspek etika berpakaian. Di dalamnya hanya dibentangkan beberapa pendapat ulama untuk mendukung pernyataannya bahwa mereka (ulama) pun masih berbeda pendapat dalam menentukan batas aurat. Pada bagian kesimpulan ia memberikan saran agar pemikiran Quraisy Syihab –tentang jilbab- mendapat perhatian sebagai salah satu langkah opeasional untuk memberikan tuntunan tata cara berbusana bagi muslimah.
7.    Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Fatkhi Nur dengan judul Studi Analisis Terhadap Pendapat Muhammad Syahrur Tentang Hukum Memakai Jilbab Bagi Wanita. Dalam kesimpulannya ia memaparkan perlu untuk mempertimbangkan aspek sosio-kultural dalam beristinbath tentang masalah jilbab untuk mempertimbangkan aspek halal-haramnya. Ia mengatakan munculnya berbagai fenomena sosial yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi sekiranya dapat menjadi alat bantu istinbath hukum untuk menentukan halal haramnya jilbab.
Dari pemaparan di atas terlihat bahwa belum ada yang secara khusus menulis tentang jilbab menurut Quraiys Syihab dari segi metodologi penafsiran dalam satu buku atau tulisan. Berangkat dari sini penulis mencoba membahas penafsiran Quraisy Syihab ditinjau dari metodologi penafsiran, terutama ayat tentang hijab/jilbab.

E.           Kerangka Teoritik
Ulûm at-Tafsîr – secara bahasa- merupakan bentuk tarkîb idlâfiy yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘ulûm dan at-tafsîr (Abû Syuhbah 1987: 16). Kata ‘ulûm merupakan bentuk plural dari kata ‘ilm yang bermakna memahami, yakin, dan mengetahui (Dlaif 2010: 636).
Selain pengertian secara bahasa di atas, terdapat beberapa defenisi ilmu yang beraneka macam. Ahli Filsafat, misalnya, mengatakan bahwa ilmu adalah suatu gambaran tentang sesuatu yang terdapat dalam akal. Menurut ahli halam, ilmu merupakan sifat yang dengan sifat itu pemiliknya mampu membedakan satu masalah dengan masalah lainnya sehingga masalah itu menjadi jelas. Dalam istilah syara’, ilmu berarti ma’rifah kepada Allah, terhadap tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan terhadap perbuatan-Nya (Supiana 2002: 30-31, Abû Syuhbah 1987: 16-17). Namun, semua defenisi di atas bukanlah yang menjadi maksud dalam pembahasan ini. Adapun yang dimaksud dengan ‘ilm dalam pembahasan ini adalah “karya yang tersusun dan termaktub di dalam buku (Abû Syuhbah 1987: 17).
Sedangkan tafsir –secara bahasa – merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata fassara yang bermakna syaraha (menjelaskan) dan wadldlaha (menerangkan) (Dlaif 2010: 712-713, Salim 2010: 2) baik terhadap yang bisa diindra maupun yang tidak bisa diindra (‘Utsmân As-Sabt: 29).  Sehingga, tafsir itu sendiri bermakna penjelasan dan keterangan. Tafsir juga bisa diartikan dengan kasyf al-mughthâ (menyingkap sesuatu yang tertutup) (Zaidân : 5). Dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, tafsir ialah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an (‘Utsaimin 2001: 23) baik karena makna lafalnya tidak jelas maupun karena alasan lainnya (Salim 2010: 2).
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu tafsir ialah ilmu yang digunakan untuk memahami Kitab Allah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan/istinbâth hukum dari ayat-ayatnya. Hal-hal tersebut bisa didapatkan dengan perantara ilmu gramatika dan sastra Arab, ushl fikih, qirâ’ât, asbâb an-Nuzûl, dan nâsikh mansûkh (Az-Zarkasyiy: 13). Ilmu tafsir juga bisa didefenisikan dengan ilmu yang membahas semua aspek yang berhubungan dengan penafsiran Al-Qur’an. Hal-hal tersebut meliputi sejarah turunnya Alqur'an, sebab-sebab turunnya, qira’at, kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat mufassir, bentuk penafsiran, metodologi tafsir, corak penafsiran, dan sebagainya. Sehingga, ilmu tafsir membahas tentang teori-teori yang dipakai dalam menafsirkan ayat-ayat Alqur,an (Baidan 2011: 67). Tentunya pembahasan ini diukur dengan kemampuan manusia dalam memahami Alqur’an (‘Utsmân As-Sabt: 33).
Namun, dalam pembahasan kali ini, penulis hanya akan menggunakan beberapa sub bahasan yang terdapat dalam ushûl at-tafsîr –yang merupakan salah satu bahasan dalam ‘ulûm Alqur’ân- yang akan digunakan untuk menganalisis buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Pembahasan tentang hal tersebut tentunya akan berkaitan dengan disiplin ilmu ushûl al-fiqh. Sub pokok tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Ijma’, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat nabi Muhammad Saw yang terjadi setelah beliau wafat dalam satu masa tertentu terhadap permasalahan hukum Islam yang bersifat ijtihadiyyah (Hakim 1954: 121, Az-Zuhailiy 2005: 469, Badrân: 111-112, As-Sulamiy 2008: 124). Dalam hal ini akan dipaparkan tentang pengertian, syarat terjadinya ijma’,ke-hujjah-an ijma’, dan hal-hal yang terkait dengan pembahasan ijma. Hal ini nantinya akan menjadi titik tolak dalam menganalisism penafsiran Quraisy Syihab tentang jilbab yang terkait dengan pandangan beliau terhadap ijma dalam karya tersebut.
2.    Riwayat. Adapun yang dimaksud dengan riwayat disini adalah hadits nabi Muhammad Saw. Dalam hirarki hukum Islam, hadits/sunnah nabi Muhammad Saw menempati urutan yang ke-2 setelah Alqur’an. As-Sunnah merupakan pengejawantahan dari Alqur’an yang tercermin dalam pribadi Nabi Muhammad Saw (Al-Qaradlâwi 1993: 23). Pembatasan riwayat hanya pada hadits nabi disebabkan luasnya pembahasan tentang riwayat. Pembahasan tentang riwayat ini selanjutnya akan digunakan untuk melihat bagaimana pandangan Quraisy Syihab tentaang hadits yang berkaitan dengan penafsiran beliau terhadap ayat-ayat jilbab. Penekanan dalam poin ini adalah perlunya melakukan istiqra’ secara keseluruhan terhadap riwayat yang ada, terutama yang terkait dengan pembahasan ini.
F.        Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah diperlukan suatu metode agar penelitian tersebut terlaksana secara terarah dan rasional serta mencapai hasil yang optimal (Bakker 1986: 10). Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (library reaserch). Data diperoleh dengan mengkaji berbagai literature kepustakaan yang berkaitan dengan pokok pembahasan (Surakhmad 1982: 132). Sumber data dibedakan menjadi sumber data primer berupa karya Quraisy Syihab yang berjudul Jilbab Pakaian Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer dan sumber data sekunder berupa tulisan Quraisy Syihab yang lain, seperti Wawasan Alqur’an dan Membumikan Alqur’an.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik yaitu suatu bentuk penelitian yang meliputi proses pengumpulan dan penyusunan data yang telah terkumpul dan tersusun tersebut dianalisis sehingga diperoleh pengertian data yang jelas (Surakhmad 1982: 140). Adapun pendekatan yang dipakai adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini adalah pendekatan yang menekankan aspek subjektif dari penelitian. Pendekatan ini berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual subjek sehingga dapat dimengerti apa dan bagaimana suatu penelitian dikembangkan olehnya (Moleong 2002: 9). Metode pengolahan datanya adalah metode diskriptif, yaitu meliputi proses pengumpulan data, penyusunan, dijelaskan kemudian dianalisa (Surahmad: p). Selain itu juga digunakan metode analisis komparatif, yaitu menganalisa data dengan cara membandingkan data yang diperoleh sehingga diperoleh pengertian yang utuh (Muhajir 2002: 123).
Berdasarkan rangkaian metode di atas maka langkah-langkah penelitiannya adalah:
Pertama, meneliti biografi Quraisy Shihab untuk mengetahui sosok pribadinya dan kondisi historis yang melatarinya.
Kedua, meneliti pemikiran Quraisy Shihab tentang penafsiran ayat-ayat jilbab.
Ketiga, memaparkan ketentuan-ketentuan yang terdapat Kerangka Teoritik.
Keempat, membandingkan penafsiran Quraisy Shihab tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam bagian ketiga.
Kelimat, mengambil kesimpulan dari hasil analisa tersebut.
G.       Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan, penelitian diklasifikasikan menjadi enam bab sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab dua berisi tentang biografi Quraisy Shihab yang meliputi sisi internal dan eksternal. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai karya-karya Quraisy Shihab dan aktivitas beliau, baik di bidang kemasyarakatan, pemerintah, maupun di lingkungan akedemik.
Bab tiga berisi tentang pemikiran Quraisy Shihab tentang jilbab, meliputi defenisi, sejarah, ayat-ayat dan hadits yang membahas tentang jilbab yang terdapat di dalam karya Quraisy Shihab, dan pandangan/penafsiran Quraisy Shihab Tentang jilbab. Di dalamnya juga akan dipaparkan anggapan dasar Quraisy Shihab dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Bab empat berisi tentang deskripsi ijma, riwayat, asbâb an-nuzûl, dan metode dan corak penafsiran sebagaimana yang terdapat dalam Kerangka Teoritik.
Bab lima merupakan perbandingan antara bab dua dengan bab tiga, dalam arti menganalisis penafsiran, metode, dan dasar-dasar penafsiran yang digunakan oleh Quraisy Shihab.
Bab enam merupakan penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting